Selasa, 11 Juni 2019

Kesenjangan dalam Sejarah


Definisi Kesenjangan

Kesenjangan dapat berarti jurang pemisah. Kesenjangan ekonomi, atau bisa juga disebut sebagai kesenjangan pendapatan atau kekayaan mengacu kepada distribusi ekonomi (kekayaan) yang subjeknya berupa individu, kelompok, kota, provinsi, dan negara. Para ekonom memberikan tiga hal yang dapat dijadikan ukuran kesenjangan, yaitu pendapatan, konsumsi, dan kekayaan. 

Kesenjangan ekonomi dapat juga dikategorikan sebagai masalah sosial yang terus-menerus ada dari masa lalu hingga saat ini. Kesenjangan sosial adalah keadaan atau kondisi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat, baik secara individu dan kelompok, dimana terjadi ketidaksetaraan dalam hal-hal yang dianggap penting dalam masyarakat. Hal tersebut dapat berupa kesenjangan sosial, pendapatan, dan sebagainya. 

Faktor kesenjangan diantaranya perbedaan sumber daya alam, dimana pendistribusian sumber daya alam dalam suatu wilayah atau negara tidak terdistribusi dengan baik. Dalam kasus nyata sumber daya alam yang melimpah di Indonesia tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia. Kedua, faktor demografis, kondisi demografis yang berbeda antar daerah akan menimbulkan kesenjangan. Hal itu karena produktivitas kerja suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Adapun faktor lainnya seperti letak dan kondisi geografis, globalisasi, kebijakan pemerintah dan sebagainya. 

Dampak dari kesenjangan ekonomi akan menimbulkan kemiskinan dan pengangguran, sulit mencari tenaga kerja yang kompeten, dan meningkatnya kriminalitas karena banyaknya pengangguran namun mereka tetap membutuhkan pemasukan. Contoh nyata dari kesenjangan sosial ekonomi dapat kita lihat jika gedung-gedung tinggi di ibukota, apartemen, hotel mewah, dan sebagainya banyak berdiri di ibu kota Jakarta. Namun, di ibukota sendiri masih terdapat 3,57% penduduk Jakarta atau sekitar 373.120 orang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dampak lainnya adalah perbedaan perlakuan dari orang terhadap dirinya, misalnya dalam restoran seringkali terlihat perbedaan perlakuan antara mereka yang memakai pakaian mewah dengan yang biasa saja. 

Apa bedanya antara kesenjangan/ketimpangan dengan kemiskinan? Menurut situs Equality Trust, kemiskinan adalah orang-orang yang berada dalam garis kemiskinan sesuai dengan taraf di daerah masing-masing (secara pendapatan dan konsumsi). Kehidupan mereka dipertimbangkan kekurangan dibanding populasi secara umum. Mereka dinyatakan ‘miskin’ jika mereka tidak dapat mengakses barang dan jasa yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain sifatnya adalah absolut, namun dapat juga relatif dimana berfluktuasi sesuai dengan standar hidup orang di suatu daerah. Sementara kesenjangan lebih bersifat relatif, mengacu kepada perbedaan gaya hidup, pendapatan, dan lain-lain, dalam suatu distribusi ekonomi. Ketidaksetaraan (kesenjangan) bisa saja terjadi di daerah yang kemiskinannya kecil, bahkan nol, yang dinilai adalah seberapa besar perbedaan gaya hidup yang ada dalam masyarakat tersebut. Jadi, kesenjangan tidak terus-menerus selalu dalam lingkup ‘si kaya’ dan ‘si miskin’.

Kesenjangan dan Sejarahnya di Dunia

Berbicara mengenai kesenjangan, sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Jika dikaitkan dengan sejarah misalnya, di Eropa pada era Dark Age (era antara runtuhnya Kekaisaran Romawi sampai era Renaissance) atau juga dikenal dengan era medieval (abad pertengahan). Pada masa itu, mayoritas sistem pemerintahan di Eropa masih menganut sistem Feodal. Contohnya di Inggris, Perancis, dan Jerman (Kekaisaran Suci Romawi), saat itu, setiap tanah dimiliki oleh tuan tanah yang kebanyakan berasal dari kalangan bangsawan, ksatria, pemuka agama, dan sebagainya yang dipandang tinggi dalam suatu strata sosial saat itu. Sementara mereka selaku sebagai pemilik tanah, tanah mereka digarap oleh petani yang kondisi kehidupannya sangat miris. Mereka tinggal di lingkungan yang kotor, dihantui oleh pajak yang tinggi yang dikenakan oleh tuan tanah, dan mereka tidak memiliki power apapun baik dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Di Perancis, sistem tersebut terus berlanjut hingga munculnya Revolusi Perancis (1789 – 1799) yang memiliki motto Liberte, Egalite, dan Fraternite. Egalite sendiri artinya adalah kesamaan yang artinya setiap masyarakat Perancis memiliki hak untuk hidup secara setara dalam ekonomi, sosial, dan politik. Tercatat bahwa saat itu, kaisar Louis XVI dari Perancis bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, terutama mereka yang tidak berdaya (masyarakat kelas bawah), begitupun dengan para elit pemerintahan, militer, dan juga pemuka agama yang tidak menyukai adanya reformasi untuk menghapuskan pajak tanah yang tinggi, alhasil timbulah revolusi. 

Tidak berhenti sampai di era tuan tanah atau akhir dari medieval. Memasuki era modern dengan adanya Revolusi Industri di Inggris (1750 – 1850), mesin telah ditemukan dan sektor industri pun bergerak dengan cepat. Kota-kota besar di Eropa pun mulai bergerak dari sektor pertanian menuju sektor industri. Mesin cetak, mesin uap, mesin jahit, dan lain-lain ditemukan secara bersamaan dan saling mengiringi. Sektor lain yang terkena dampaknya adalah sektor manufaktur, dimana produksi barang lebih cepat; kemudian sektor pertanian, dimana ditemukannya peralatan modern untuk mengolah hasil pertanian secara lebih cepat; alat transportasi baru ditemukan secara masif seperti mobil dan kereta uap, serta sektor-sektor lainnya yang tentunya dengan revolusi industri tersebut membuat semuanya menjadi lebih mudah dan menurunkan biaya produksi sehingga harga pasaran suatu barang tersebut menjadi lebih murah. Dampaknya, muncul kapitalisme modern yang menyebabkan munculnya dua kelas, yaitu pemilik modal dan buruh. Hasilnya, kesenjangan pun kembali terjadi walaupun sudah berganti era. Akibat dari kesenjangan tersebut, kriminalitas meningkat. Di Inggris, perusahaan menetapkan bagi buruhnya jam kerja dari matahari terbit hingga matahari terbenam dengan upah yang kecil. Hal ini untuk meminimkan biaya produksi. Kemudian, Robert Owen tampil ke publik untuk menentang sistem tersebut. Menurutnya, waktu dalam sehari dibagi menjadi 3, salah satunya untuk kerja selama 8 jam. Tahun 1884, Tom Mann kembali menyuarakan penderitaan para buruh ini. Dengan partainya, dia berhasil meyakinkan Trade Union Congress akan tuntutannya. Sementara di Amerika Serikat, penerapan 8 jam kerja berlaku mulai tahun 1905. 

1.3.Kesenjangan dalam Sejarah Indonesia

            Dalam sejarah Indonesia kesenjangan dapat kita lihat pada era kolonial Belanda. Saat itu, strata sosial masyarakat kita berada di kelas ketiga. Dampaknya, masyarakat Indonesia selalu dibedakan dengan orang Belanda baik dalam segi pendidikan, politik, dan juga militer. Di bidang pendidikan, masyarakat pribumi hanya boleh mendapat keahlian tertentu dan tidak bisa lebih tinggi dari itu, seperti misalnya dokter, terdapat Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi tenaga kerja dalam bidang kesehatan yang semuanya ditak dapat di-cover oleh orang Belanda. Dalam bidang militer, tentunya orang-orang Belanda yang berada di dalam tubuh KNIL (Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda) menempati jabatan/posisi tinggi seperti pimpinan batalion, pimpinan, resimen, dan jenderal. Sementara itu, mereka juga merekrut pribumi untuk memenuhi jumlah militer mereka di Hindia Belanda. Mereka membagi satuan berdasarkan latar belakang suku orang tersebut. misalnya terdapat divisi Ambon, divisi Bugis, divisi Jawa, dan sebagainya. Hal tersebut bertujuan agar jika salah satu satuan memberontak, mereka akan menumpasnya dengan satuan lain yang berbeda latar belakang. Tentunya orang-orang pribumi menempati kedudukan yang tinggi dalam tubuh KNIL. Jabatan tertinggi seorang pribumi dalam KNIL adalah kolonel yaitu Abdulkadir Widjojoatmodjo. Tidak hanya antara pribumi dengan orang Belanda, sesama pribumi pun juga terdapat kesenjangan. Seperti misalnya pribumi yang kaya dan memiliki tanah yang luas serta memiliki koneksi dengan petinggi-petinggi Hindia Belanda dengan rakyat kecil yang miskin, dan tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal, tidak memiliki pandangan politik, dan hal-hal lainnya yang tidak dimilikinya namun dimiliki oleh pribumi lainnya yang memiliki harta.

      Pada awal Orde Baru berkuasa, pemerintah mengeluarkan undang-undang penanaman modal asing. Hal itu menyebabkan investasi asing di Indonesia menjadi makin mudah dan marak. Dampaknya, penaikan proporsi investasi modal asing terhadap GDP dari 9% pada tahun 1970 naik hingga 17% pada tahun-tahun setelahnya. Dengan kata lain, perekonomian Indonesia dapat dikatakan meningkat. Namun, hal tersebut juga membawa dampak negatif, yakni ketimpangan. Mereka yang mendapat akses politik serta ekonomi bangsa menguasai hampir sebagian besar perekonomian negara, sementara mereka yang kekurangan hanya mendapat sebagian kecil dari manfaatnya. Menurut Revrisond Baswer hampir sebagian besar cabang produksi dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki para konglomerat. Cabang produksi yang dikuasai diantaranya produksi murni, eksploitasi kekayaan hutan, konstruksi, otomotif, transportasi, perbankan, jasa keuangan, perhotelan, dan tentunya media komunikasi. Diperkirakan sekitar 200 konglomerat dengan perusahaan-perusahaan besarnya menguasai 58% dari total GDP. Sementara itu, usaha-usaha kecil menengah dan tradisional hanya memberikan kontribusi sebesar 8%. Perbedaan jarak sejauh 50% antar kedua golongan tersebut sudah jelas terlihat, sebuah ketimpangan yang begitu besar. Walaupun dengan kontribusi perusahaan besar yang menguasai berbagai cabang produksi dan juga masuknya banyak investasi asing akan membuat ekonomi meningkat, akan tetapi mereka yang tertinggal akan semakin tertinggal dan dengan kebijakan yang tidak berubah, akan membuat kesenjangannya makin jauh serta dalam waktu yang lama untuk menyetarakan pendapatan antar keduanya. Di samping itu, kebijakan penataan lahan tata ruang juga memnciptakan kesenjangan antar dua golongan. Pembangunan sektor ekonomi seperti kawasan industri, pabrik-pabrik, tempat wisata di daerah pedesaan telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian halnya dengan di perkotaan. Para konglomerat bekerja sama dengan birokrasi di dalam tubuh pemerintah agar dimudahkan izin untuk membeli tanah-tanah penduduk untuk kepentingan mereka. Di tanah tersebut nantinya akan dibangun kawasan perumahan mewah, perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Dampaknya antara lain adalah marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang tanahnya digunakan untuk berbagai kepentingan yang kurang memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat sekitar dan pada umumnya.