Definisi Kesenjangan
Kesenjangan
dapat berarti jurang pemisah. Kesenjangan ekonomi, atau bisa juga disebut
sebagai kesenjangan pendapatan atau kekayaan mengacu kepada distribusi ekonomi
(kekayaan) yang subjeknya berupa individu, kelompok, kota, provinsi, dan
negara. Para ekonom memberikan tiga hal yang dapat dijadikan ukuran
kesenjangan, yaitu pendapatan, konsumsi, dan kekayaan.
Kesenjangan
ekonomi dapat juga dikategorikan sebagai masalah sosial yang terus-menerus ada
dari masa lalu hingga saat ini. Kesenjangan sosial adalah keadaan atau kondisi
ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat, baik secara individu dan
kelompok, dimana terjadi ketidaksetaraan dalam hal-hal yang dianggap penting
dalam masyarakat. Hal tersebut dapat berupa kesenjangan sosial, pendapatan, dan
sebagainya.
Faktor
kesenjangan diantaranya perbedaan sumber daya alam, dimana pendistribusian
sumber daya alam dalam suatu wilayah atau negara tidak terdistribusi dengan
baik. Dalam kasus nyata sumber daya alam yang melimpah di Indonesia tidak dapat
dirasakan manfaatnya oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia. Kedua, faktor
demografis, kondisi demografis yang berbeda antar daerah akan menimbulkan
kesenjangan. Hal itu karena produktivitas kerja suatu daerah tidak sama dengan
daerah lain. Adapun faktor lainnya seperti letak dan kondisi geografis,
globalisasi, kebijakan pemerintah dan sebagainya.
Dampak
dari kesenjangan ekonomi akan menimbulkan kemiskinan dan pengangguran, sulit
mencari tenaga kerja yang kompeten, dan meningkatnya kriminalitas karena
banyaknya pengangguran namun mereka tetap membutuhkan pemasukan. Contoh nyata
dari kesenjangan sosial ekonomi dapat kita lihat jika gedung-gedung tinggi di
ibukota, apartemen, hotel mewah, dan sebagainya banyak berdiri di ibu kota
Jakarta. Namun, di ibukota sendiri masih terdapat 3,57% penduduk Jakarta atau
sekitar 373.120 orang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Dampak lainnya
adalah perbedaan perlakuan dari orang terhadap dirinya, misalnya dalam restoran
seringkali terlihat perbedaan perlakuan antara mereka yang memakai pakaian
mewah dengan yang biasa saja.
Apa
bedanya antara kesenjangan/ketimpangan dengan kemiskinan? Menurut situs
Equality Trust, kemiskinan adalah orang-orang yang berada dalam garis
kemiskinan sesuai dengan taraf di daerah masing-masing (secara pendapatan dan
konsumsi). Kehidupan mereka dipertimbangkan kekurangan dibanding populasi
secara umum. Mereka dinyatakan ‘miskin’ jika mereka tidak dapat mengakses
barang dan jasa yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain
sifatnya adalah absolut, namun dapat juga relatif dimana berfluktuasi sesuai
dengan standar hidup orang di suatu daerah. Sementara kesenjangan lebih
bersifat relatif, mengacu kepada perbedaan gaya hidup, pendapatan, dan
lain-lain, dalam suatu distribusi ekonomi. Ketidaksetaraan (kesenjangan) bisa
saja terjadi di daerah yang kemiskinannya kecil, bahkan nol, yang dinilai
adalah seberapa besar perbedaan gaya hidup yang ada dalam masyarakat tersebut.
Jadi, kesenjangan tidak terus-menerus selalu dalam lingkup ‘si kaya’ dan ‘si
miskin’.
Kesenjangan dan
Sejarahnya di Dunia
Berbicara
mengenai kesenjangan, sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Jika dikaitkan
dengan sejarah misalnya, di Eropa pada era Dark Age (era antara runtuhnya
Kekaisaran Romawi sampai era Renaissance)
atau juga dikenal dengan era medieval
(abad pertengahan). Pada masa itu, mayoritas sistem pemerintahan di Eropa masih
menganut sistem Feodal. Contohnya di Inggris, Perancis, dan Jerman (Kekaisaran
Suci Romawi), saat itu, setiap tanah dimiliki oleh tuan tanah yang kebanyakan
berasal dari kalangan bangsawan, ksatria, pemuka agama, dan sebagainya yang
dipandang tinggi dalam suatu strata sosial saat itu. Sementara mereka selaku
sebagai pemilik tanah, tanah mereka digarap oleh petani yang kondisi
kehidupannya sangat miris. Mereka tinggal di lingkungan yang kotor, dihantui
oleh pajak yang tinggi yang dikenakan oleh tuan tanah, dan mereka tidak
memiliki power apapun baik dalam
kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Di Perancis, sistem tersebut terus
berlanjut hingga munculnya Revolusi Perancis (1789 – 1799) yang memiliki motto
Liberte, Egalite, dan Fraternite. Egalite sendiri artinya adalah kesamaan yang
artinya setiap masyarakat Perancis memiliki hak untuk hidup secara setara dalam
ekonomi, sosial, dan politik. Tercatat bahwa saat itu, kaisar Louis XVI dari
Perancis bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, terutama mereka yang
tidak berdaya (masyarakat kelas bawah), begitupun dengan para elit
pemerintahan, militer, dan juga pemuka agama yang tidak menyukai adanya
reformasi untuk menghapuskan pajak tanah yang tinggi, alhasil timbulah
revolusi.
Tidak
berhenti sampai di era tuan tanah atau akhir dari medieval. Memasuki era modern dengan adanya Revolusi Industri di
Inggris (1750 – 1850), mesin telah ditemukan dan sektor industri pun bergerak
dengan cepat. Kota-kota besar di Eropa pun mulai bergerak dari sektor pertanian
menuju sektor industri. Mesin cetak, mesin uap, mesin jahit, dan lain-lain
ditemukan secara bersamaan dan saling mengiringi. Sektor lain yang terkena
dampaknya adalah sektor manufaktur, dimana produksi barang lebih cepat;
kemudian sektor pertanian, dimana ditemukannya peralatan modern untuk mengolah
hasil pertanian secara lebih cepat; alat transportasi baru ditemukan secara
masif seperti mobil dan kereta uap, serta sektor-sektor lainnya yang tentunya
dengan revolusi industri tersebut membuat semuanya menjadi lebih mudah dan
menurunkan biaya produksi sehingga harga pasaran suatu barang tersebut menjadi
lebih murah. Dampaknya, muncul kapitalisme modern yang menyebabkan munculnya
dua kelas, yaitu pemilik modal dan buruh. Hasilnya, kesenjangan pun kembali
terjadi walaupun sudah berganti era. Akibat dari kesenjangan tersebut,
kriminalitas meningkat. Di Inggris, perusahaan menetapkan bagi buruhnya jam
kerja dari matahari terbit hingga matahari terbenam dengan upah yang kecil. Hal
ini untuk meminimkan biaya produksi. Kemudian, Robert Owen tampil ke publik
untuk menentang sistem tersebut. Menurutnya, waktu dalam sehari dibagi menjadi
3, salah satunya untuk kerja selama 8 jam. Tahun 1884, Tom Mann kembali
menyuarakan penderitaan para buruh ini. Dengan partainya, dia berhasil
meyakinkan Trade Union Congress akan tuntutannya. Sementara di Amerika Serikat,
penerapan 8 jam kerja berlaku mulai tahun 1905.
1.3.Kesenjangan dalam
Sejarah Indonesia
Pada awal Orde Baru berkuasa, pemerintah
mengeluarkan undang-undang penanaman modal asing. Hal itu menyebabkan investasi
asing di Indonesia menjadi makin mudah dan marak. Dampaknya, penaikan proporsi
investasi modal asing terhadap GDP dari 9% pada tahun 1970 naik hingga 17% pada
tahun-tahun setelahnya. Dengan kata lain, perekonomian Indonesia dapat
dikatakan meningkat. Namun, hal tersebut juga membawa dampak negatif, yakni
ketimpangan. Mereka yang mendapat akses politik serta ekonomi bangsa menguasai
hampir sebagian besar perekonomian negara, sementara mereka yang kekurangan
hanya mendapat sebagian kecil dari manfaatnya. Menurut Revrisond Baswer hampir
sebagian besar cabang produksi dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang
dimiliki para konglomerat. Cabang produksi yang dikuasai diantaranya produksi
murni, eksploitasi kekayaan hutan, konstruksi, otomotif, transportasi, perbankan,
jasa keuangan, perhotelan, dan tentunya media komunikasi. Diperkirakan sekitar
200 konglomerat dengan perusahaan-perusahaan besarnya menguasai 58% dari total
GDP. Sementara itu, usaha-usaha kecil menengah dan tradisional hanya memberikan
kontribusi sebesar 8%. Perbedaan jarak sejauh 50% antar kedua golongan tersebut
sudah jelas terlihat, sebuah ketimpangan yang begitu besar. Walaupun dengan
kontribusi perusahaan besar yang menguasai berbagai cabang produksi dan juga
masuknya banyak investasi asing akan membuat ekonomi meningkat, akan tetapi mereka
yang tertinggal akan semakin tertinggal dan dengan kebijakan yang tidak
berubah, akan membuat kesenjangannya makin jauh serta dalam waktu yang lama
untuk menyetarakan pendapatan antar keduanya. Di samping itu, kebijakan
penataan lahan tata ruang juga memnciptakan kesenjangan antar dua golongan. Pembangunan
sektor ekonomi seperti kawasan industri, pabrik-pabrik, tempat wisata di daerah
pedesaan telah menyita banyak lahan penduduk. Demikian halnya dengan di
perkotaan. Para konglomerat bekerja sama dengan birokrasi di dalam tubuh
pemerintah agar dimudahkan izin untuk membeli tanah-tanah penduduk untuk
kepentingan mereka. Di tanah tersebut nantinya akan dibangun kawasan perumahan
mewah, perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya.
Dampaknya antara lain adalah marjinalisasi dan pemiskinan masyarakat desa yang
tanahnya digunakan untuk berbagai kepentingan yang kurang memberikan keuntungan
ekonomis bagi masyarakat sekitar dan pada umumnya.